Search This Blog

Monday 30 May 2011

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Sebuah Realita Dalam Kehidupan Masyarakat Kita)

Kekerasan Dalam Rumah tangga

(Sebuah realita dalam Kehidupan Masyarakat kita)

Oktaria Rakhmawati *)







Abstract:

This article discusses about domestic violence is a phenomenon in Indonesia society.Many violence in our country often found in family life.That`s a sad reality, because again the woman who became the victim of domestic violence (Domestic Violence). Since long ago, most women's status as a wife, identified as a woman to be obedient and subservient to the husband.And,sometimes,the husband to be overprotective to his wife,so,Domestic violence could be happened caused that.Based from these reality,our government had been produced law,to protect the women from domestic violence.In which all aspects of life governed by Law,because Indonesia is the state based from law (Rechstaat), not a state based in the Power (Machstaat). As noted in the 1945 Constitution article 1 paragraph 3: "Indonesia is a State of law.”And also in terms of legal protection of women from domestic violence, the State had been working on it.


Kata Kunci:Kekerasan Dalam Rumah Tangga








*)Oktaria Rakhmawati ,Mahasiswa Prodi S1 Ilmu Hukum Universitas Negeri Surabaya Angkatan 2009







1.Pendahuluan:
Apakah yang sebenarnya dimaksud dengan KDRT terhadap istri? KDRT terhadap istri adalah segala bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri yang berakibat menyakiti secara fisik, psikis, seksual dan ekonomi, termasuk ancaman, perampasan kebebasan yang terjadi dalam rumah tangga atau keluarga. Selain itu, hubungan antara suami dan istri diwarnai dengan penyiksaan secara verbal, tidak adanya kehangatan emosional, ketidaksetiaan dan menggunakan kekuasaan untuk mengendalikan istri. Setelah membaca definisi di atas, tentu pembaca sadar bahwa kekerasan pada istri bukan hanya terwujud dalam penyiksaan fisik, namun juga penyiksaan verbal yang sering dianggap remeh namun akan berakibat lebih fatal dimasa yang akan datang.


Budaya Patriarki yang telah mendarah daging di kalangan masyarakat Indonesia,membuat pihak laki-laki memiliki kedudukan yang lebih unggul dibandingkan dengan perempuan.Laki-laki sebagai pemimpin keluarga,wajib ditaati segala perintahnya oleh istri.Namun terkadang,sikap otoriter ini membuat perempuan menjadi berontak,apabila terjadi konflik dalam rumah tangga dikarenakan perbedaan pendapat antara suami-istri,tak jarang sang suami menggunakan kekerasan untuk menundukkan sikap istrinya.

Kultur masyarakat kita yang menganggap bahwa tindak kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga merupakan suatu aib yang harus ditutup rapat, sehingga dengan sendirinya telah menjadikan korban yang notabene mayoritas perempuan (istri) sebagai pihak yang senantiasa selalu ikhlas dirugikan dan mejustifikasi Apa yang telah dialaminya tersebut sebagai suratan takdir yang tak bisa terelakkan !!! tak heran bila kemudian diskriminasi sosial tersebut melahirkan konsep yang di beri nama “ conspiracy of silence “….
Jadi, konsep yang bernama “ conspiracy of silence “ adalah suatu embrio dari pemikiran sebagai hasil warisan yang telah diadopsi masyarakat kita secara turun temurun dalam bentuk anggapan budaya atau mitos, yang secara mentah di legitimasi menjadi Norma Sosial yang harus di taati oleh seorang istri, seperti contoh:

1. Kuatnya pandangan bahwa KDRT adalah masalah pribadi, sehingga penyelesaiannya harus secara privat pula antara suami dan istri saja.

2. Mitos : falsafah jawa “ swarga nunut, neraka katut “ ( ke surga ikut, ke neraka ikut atau baik dan buruknya suami, istri harus tetap mengikuti).. kemudian “ olo meneng, becik meneng “ ( baik atau buruk harus tetap tutup mulut).

3. Masalah ketergantungan ekonomi: jadi tidak perlu melaporkan KDRT yang dilakukan suami terhadap diri (istri) ataupun terhadap anak-anaknya. Karena akan berdampak buruk terhadap keberlanjutan ekonomi keluarga.

4. Takut akan ancaman, anggapan suami akan bertambah buas kalau sampai ia melapor kepada pihak yang berwenang baik terhadap dirinya, ataupun terhadap anggota keluarga lainnya. Melakukan tekanan psikis berupa ancaman supaya istri tidak melakukan hal-hal yang tidak dikehendaki suami, termasuk menceritakan kekerasan yang dilakukannya pada orang lain, dan diiringi dengan ancaman selanjutnya berupa sanksi akan diceraikan, ditinggal pergi, orang-orang yang disayangi oleh sang istri akan dibunuh, hingga si istri sendiri yang kan dibunuh.

5. Anggapan bahwa KDRT yang dilakukan suami adalah wujud atau sebagai salah satu bukti dari rasa cintanya pada istri dan anak.

6. Anggapan “ Victim Blaming “ atau perempuan adalah pihak yang patut disalahkan, yang tercermin dalam ungkapan sehari-hari, misalnya “Enggak bakalan laki-laki ngegebukin bininya kalau bukan salahnya si bini” atau “Lakinya bener-bener cinta sama bininya, tapi bininya aja yang kagak tau diri...Ya pantas aja kalau laki-lakinya jadi kesel, ditabok deh bininya buat kasi pelajaran...”

7. “tidak ada asap kalau tidak ada api”. Tidak ada empati yang diberikan kepada korban karena korban dianggap ikut berpartisipasi atas timbulnya KDRT tersebut (victim participating). Jadi korban (istripun) harus ikut bertanggung jawab dan bukan hanya pelaku (suami)

Anggapan- anggapan diatas telah diinternalisasi pada perempuan secara terus menerus sebagai suatu kebenaran yang tidak dapat disangkal, sehingga perempuan selalu di tempatkan pada posisi yang terpinggirkan dari suatu Institusi keluarga..

Selain itu, kondisi yang demikian mencerminkan kuatnya relasi gender yang timpang antara laki-laki dan perempuan, dan jika kondisi tersebut terus dibiarkan maka siklus kekerasan dalam konteks KDRT akan terus berkelanjutan tanpa akhir dan membentuk suatu pola yang membuat para korban (istri) tidak mudah keluar karena telah terjebak dalam lingkaran KDRT yang dialaminya.



2.Penyebab terjadinya KDRT

KDRT bisa dilakukan oleh siapa saja, motifnya bisa apa saja. Ada yang melakukan KDRT karena tekanan ekonomi, tetapi banyak juga yang disebabkan karena diawali dengan perselingkuhan dan sebab-sebab lainnya. Ketika terjadi perselingkuhan, umumnya korban bisa memaafkan, namun berbeda ketika menyinggung persoalan anak.


KDRT pada istri tidak akan terjadi jika tidak ada penyebabnya. Di negara kita, Indonesia, kekerasan pada perempuan merupakan salah satu budaya negatif yang tanpa disadari sebenarnya telah diturunkan secara turun temurun. Apa saja penyebab kekerasan pada istri? Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan suami terhadap istri, antara lain:
1)   Masyarakat membesarkan anak laki-laki dengan menumbuhkan keyakinan bahwa anak laki-laki harus kuat, berani dan tidak toleran.
2)   Laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat.
3)  Persepsi mengenai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga harus ditutup karena merupakan masalah keluarga dan bukan masalah sosial.
4)   Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama mengenai aturan mendidik istri, kepatuhan istri pada suami, penghormatan posisi suami sehingga terjadi persepsi bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan.
5)   Budaya bahwa istri bergantung pada suami, khususnya ekonomi.
6)   Kepribadian dan kondisi psikologis suami yang tidak stabil.
7)   Pernah mengalami kekerasan pada masa kanak-kanak.
8)   Budaya bahwa laki-laki dianggap superior dan perempuan inferior.
9)   Melakukan imitasi, terutama anak laki-laki yang hidup dengan orang tua yang sering melakukan kekerasan pada ibunya atau dirinya.
Selain itu, faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap istri berhubungan dengan kekuasaan suami/istri dan diskriminasi gender di masyarakat. Dalam masyarakat, suami memiliki otoritas, memiliki pengaruh terhadap istri dan anggota keluarga yang lain, suami juga berperan sebagai pembuat keputusan. Pembedaan peran dan posisi antara suami dan istri dalam masyarakat diturunkan secara kultural pada setiap generasi, bahkan diyakini sebagai ketentuan agama. Hal ini mengakibatkan suami ditempatkan sebagai orang yang memiliki kekuasaan yang lebih tinggi daripada istri. Kekuasaan suami terhadap istri juga dipengaruhi oleh penguasaan suami dalam sistem ekonomi, hal ini mengakibatkan masyarakat memandang pekerjaan suami lebih bernilai. Kenyataan juga menunjukkan bahwa kekerasan juga menimpa pada istri yang bekerja, karena keterlibatan istri dalam ekonomi tidak didukung oleh perubahan sistem dan kondisi sosial budaya, sehingga peran istri dalam kegiatan ekonomi masih dianggap sebagai kegiatan sampingan.

Bentuk-bentuk kekerasan terhadap istri, antara lain:
1. Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik adalah suatu tindakan kekerasan (seperti: memukul, menendang, dan lain-lain) yang mengakibatkan luka, rasa sakit, atau cacat pada tubuh istri hingga menyebabkan kematian.
2. Kekerasan Psikis
Kekerasan psikis adalah suatu tindakan penyiksaan secara verbal (seperti: menghina, berkata kasar dan kotor) yang mengakibatkan menurunnya rasa percaya diri, meningkatkan rasa takut, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan tidak berdaya. Kekerasan psikis ini, apabila sering terjadi maka dapat mengakibatkan istri semakin tergantung pada suami meskipun suaminya telah membuatnya menderita. Di sisi lain, kekerasan psikis juga dapat memicu dendam dihati istri.
3. Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual adalah suatu perbuatan yang berhubungan dengan memaksa istri untuk melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau bahkan tidak memenuhi kebutuhan seksual istri.
4. Kekerasan Ekonomi
Kekerasan ekonomi adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh Suami dengan cara membatasi istri untuk bekerja di dalam atau di luar rumah untuk menghasilkan uang dan barang, termasuk membiarkan istri yang bekerja untuk di-eksploitasi, sementara si suami tidak memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Sebagian suami juga tidak memberikan gajinya pada istri karena istrinya berpenghasilan, suami menyembunyikan gajinya,mengambil harta istri, tidak memberi uang belanja yang mencukupi, atau tidak memberi uang belanja sama sekali, menuntut istri memperoleh penghasilan lebih banyak, dan tidak mengijinkan istri untuk meningkatkan karirnya.
3.Pembahasan
Dengan Menyebut Nama ALLAH yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang….
ALLAH SWT berfirman…

“ Dan para wanita mepunyai hak yang setara (secara proporsional) dengan kewajibannya menurut cara yang makruf “ (QS. Al Baqarah: 228)

Ayat Al-Qur’an yang dikemukakan diatas, secara terang membuktikan bahwa wanita diberi hak yang setara secara proporsional dengan kewajibannya
Namun sungguh disayangkan, paradigma ideal yang telah digariskan dalam firman diatas, jika dihubungkan dengan kehidupan rumah tangga seseorang ternyata bertentangan dengan Prinsip Kesetaraan Gender yang menjadi tolak ukur dari Perspektif Hukum Islam, khususnya Hukum yang berlaku di Indonesia.. Karena perkembangan dewasa ini telah menunjukkan begitu banyak Tindak Kekerasan yang telah terjadi dalam lingkup rumah tangga, dan pada kenyataannya yang menjadi korban kebanyakan adalah perempuan (istri) dan anak-anak… (saya pribadi menilainya sebagai perilaku yang tidak manusiawi/ tidak bermoral).

Sebenarnya,perempuan memiliki hak yang sama dalam kehidupan berumah tangga,tapi,ia juga Tidak boleh mengabaikan kodratnya sebagai istri,karena laki-laki dikodratkan sebagai pemimpin.seperti disebutkan dalam Al Quran:

Surah An-Nisa (4) ayat 34
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”


Dalil tersebut tidak boleh disalahgunakan untuk membenarkan sikap semena-mena oleh kaum laki-laki.disini sikap memukul dianjurkan,hanya untuk membuat istri jera,menyadari kesalahannya.bukan untuk sewenang-wenang terhadap istri.Pukulannya juga tidak boleh membuat istri sampai mengalami luka,atau cacat fisik.Karena Agama Islam sendiri,tidak membenarkan Kekerasan terjadi.
Rasulullah saw Bersabda: “Ingatlah, aku wasiatkan kalian untuk berbuat baik terhadap perempuan, karena mereka sering menjadi sasaran pelecehan di antara kalian, padahal kalian tidak berhak atas mereka, kecuali berbuat baik itu”. (Riwayat Muslim)

Selanjutnya, dalam hadist yang lain Dari Abu Harairah ra, bahwa Rasulullah bersabda :

“ Orang yang paling sempurna imannya di antara kamu, adalah orang yang paling baik akhlaqnya. Dan orang yang terbaik di antara kamu, adalah mereka yang berbuat baik terhadap istri mereka ”.

Tetapi,Realita yang kita temui,Suami kadang memukul istri sampai mengalami luka serius,bahkan trauma Psikis yang diakibatkan oleh KDRT.Padahal,dalam Negara kita,pelaku penganiayaan diancam hukuman pidana dengan pasal-pasal dalam KUH Pidana:
-Perlakuan tidak menyenangkan (Pasal 335 ayat (1) KUHPidana),
-Penganiayaan (Pasal 351 ayat (1) KUHPidana,
-Penganiayaan dengan direncanakan (Pasal 353 ayat (1) KUHPidana),

Setiap tahun,angka terjadinya KDRT semakin meningkat.Menurut Mitra Perempuan Women’s Crisis Centre,Statistik mencatat bahwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan kasus terbanyak yang dialami oleh perempuan (81,70%). Mayoritas pelaku adalah suami (76,98%), mantan suami (6,12%); orangtua, anak, saudara (4,68%). Di samping itu, 9,35% pelaku adalah pacar atau teman dekat.Hal itu terjadi disebabkan mereka tidak benar-benar memahami isi dari ajaran agama,juga aturan hukum yang berlaku di Negara ini.atau dengan kata lain,Kurangnya pemahaman terhadap ajaran agama dan kesadaran hukum,merupakan penyebab terjadinya KDRT.KDRT tidak akan terjadi apabila dalam kehidupan berumah tangga ,Suami dan istri dapat menyadari peran dan fungsinya satu sama lain,dan mampu menyikapi secara Arif&Bijaksana segala persoalan yang dihadapi bersama.Sikap toleransi sangat diperlukan guna menciptakan kondisi Rumah tangga yang tenteram dan damai.

4.Penyelesaian Kasus
Untuk menekan angka KDRT yang setiap tahun mengalami peningkatan&Memberikan perlindungan hukum terhadap kaum perempuan,maka Pemerintah mengeluarkan UU RI no.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan kekerasan dalam Rumah tangga
Dalam Ketentuan umumnya,
“Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, memindahkan pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga. “
Dan negara ,berupaya untuk memberikan perlindungan terhadap kaum perempuan.
“Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga, sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik secara sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan. “
Dengan adanya Undang-Undang tersebut,diharapkan dapat memberikan perlindungan terhadap kaum perempuan dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

5.Kesimpulan dan Saran:
Budaya Patriarki yang mendarah daging di Indonesia,di mana kaum lelaki merasa memiliki kedudukan Lebih tinggi,serta sikap otoriter yang berlebihan,serta
Kurangnya pemahaman terhadap ajaran agama dan kesadaran hukum,merupakan penyebab terjadinya KDRT.

Pemerintah telah berusaha melaksanakan upaya penegakan Hukum di Indonesia dalam bidang perlindungan terhadap Perempuan ,dengan mengeluarkan UU RI no.23 tahun 2004.

.KDRT tidak akan terjadi apabila dalam kehidupan berumah tangga ,Suami dan istri dapat menyadari peran dan fungsinya satu sama lain,dan mampu menyikapi secara Arif&Bijaksana segala persoalan yang dihadapi bersama.Sikap toleransi sangat diperlukan guna menciptakan kondisi Rumah tangga yang tenteram dan damai.

Sebaiknya,dalam menyelesaikan permasalahan yang ada dalam kehidupan berumah tangga,pasangan suami istri mampu menyelesaikannya dengan cara yang bijaksana ,tanpa menggunakan kekerasan.dengan cara bermusyawarah serta saling menghargai pendapat antara satu dengan yang lainnya.Sehingga,timbulnya KDRT dapat dihindarkan .
























DAFTAR PUSTAKA



KUH Pidana Prof. Moeljatno, S.H.Penerbit Bumi Aksara, 2006.

UU RI no.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan kekerasan dalam Rumah tangga


http://www.legalitas.org/?q=content/stop-kdrt-1 Diakses 15 desember 2009 pukul 10.30

rosenmanmanihuruk.blogspot.com/.../budaya-patriarki-di-indonesia-membuat.html -
Diakses 15 desember 2009 pukul 11.15

http://www.perempuan.or.id/?q=content/tahun-2008-catatan-kekerasan-terhadap-perempuan-layanan-women%E2%80%99s-crisis-centre Diakses 15 desember 2009 pukul 11.20